RESOLUSI

Resolusi Konperensi Warisan Otoritarianisme II:
Demokrasi dan Tirani Modal

Kampus Universitas Indonesia, Depok, 5-7 Agustus 2008

Selama tiga hari ini 500 akademisi, intelektual, tokoh dan penggerak masyarakat, pemimpin dan aktivis organisasi sosial dan politik dari kampung dan kampus berkumpul di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Diskusi yang meluas dan mendalam dilakukan secara serempak dalam sebelas panel dan dua seminar, pemutaran film dan pertunjukan. Dalam tiga hari ini para peserta membicarakan betapa Indonesia kini berada di ambang kebangkrutan dan bencana ekologis yang mengancam keberadaan negeri ini. Dibicarakan pula betapa strategi ekonomi yang terus mengeruk kekayaan alam di negeri kepulauan terbesar di dunia ini sudah jauh melampaui batas. Di hulu negeri, hutan yang menjadi pemasok air terus digunduli dengan kecepatan empat kali lapangan bola setiap menit, sementara di hilir ekosistem mangrove hanya menutup kurang dari sepersepuluh garis pantai negeri ini. Lebih dari sepertiga daratan negeri ini dikuasai sekitar seribu pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Sembilan dari sepuluh ladang minyak dan gas bumi dikuasai perusahaan lintas negara sehingga hasilnya tidak pernah bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat Indonesia sendiri. Daya dukung lingkungan terus merosot dan dalam beberapa dekade mendatang jika tidak ada langkah drastis yang diambil kita harus menghadapi kenyataan bahwa yang tersisa di negeri ini hanyalah ampas.

Bergema suara Soekarno – yang tadi malam dibawakan dengan indah oleh Wawan Sofwan – ketika di hadapan pengadilan kolonial pada 16 Juni 1930 mengatakan:

Musnah buat selama-lamanya!
Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami.
Musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk dalam kantong beberapa pemegang andil belaka.

Di dalam tata dan kelola ekonomi ini masyarakat hidup dalam keadaan carut-marut. Para pemegang kuasa justru mengutamakan pengerukan sumber daya alam, memberi kemudahan pada sektor manufaktur ringan dan pasar uang yang hanya mengembalikan sedikit hasil kepada orang banyak dalam bentuk upah dan pajak. Lebih dari 37 juta orang masih hidup dalam kategori miskin, yang masih harus ditambah lebih dari tiga juga korban bermacam bencana. Satu dari sepuluh orang Indonesia hidup tanpa pekerjaan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kini harus menghadapi ancaman dari pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem kontrak dan outsourcing mengancam keamanan kerja dan membuat jutaan orang hidup tanpa kepastian sementara pengusaha menikmati keuntungan berlipat. Di pedesaan, petani yang merupakan separuh penduduk Indonesia memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian tapi tidak mendapat perhatian dan dukungan serius.

Dan Indonesia tidak sendirian. Ini adalah pola global. Ketimpangan makin menjadi di era yang oleh pemikir penguasa dengan pongah disebut “akhir dari sejarah.” Pendapatan dari 500 orang terkaya di dunia jauh lebih besar dari total pendapatan 500 juta penduduk termiskin. Sementara 2,5 milyar penduduk miskin dunia hanya memiliki 5% dari pendapatan global, 10% orang terkaya menguasai lebih dari 50% dari pendapatan itu. Kesenjangan kelas tidak lagi bisa ditutupi. Di Indonesia jumlah orang yang bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 20.000 per hari sudah melebihi separuh, dan masuk ke dalam jajaran penduduk miskin dunia. Sementara 20.000 orang terkaya menguasai lebih dari separuh pendapatan nasional. Akibat dari ketimpangan ini kita saksikan setiap hari. Di Koja, Jakarta Utara, seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya, sementara di Jawa Timur, seorang anak gantung diri karena tidak kuat menahan lapar. Dari seminar pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung kemarin kita mendapat gambaran nyata bagaimana perempuan dan anak menjadi korban utama ketika negara tidak lagi menjalankan tugasnya, yakni menjamin kesejahteraan rakyat.

Panel-panel yang membahas masalah ekonomi dalam konperensi ini melihat bahwa akar persoalan yang kita hadapi sekarang dapat ditelusuri dari kegagalan melakukan pembalikan historis (historical reversal) terhadap struktur ekonomi kolonial. Kelahiran Orde Baru justru menjadi basis bagi dibukanya Indonesia sebagai “surga bagi para investor.” Undang-undang baru di bidang penanaman modal asing, kehutanan, pertambangan dan juga ketenagakerjaan membuat tata dan kelola ekonomi menjadi sandera dari perusahaan raksasa multinasional, lembaga keuangan internasional dan segelintir komprador yang turut menikmati ketimpangan ini. Negara sepertinya tidak punya kedaulatan untuk menentukan kebijakan. Modal internasional tidak hanya mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat tapi juga menganjurkan agar pemerintah mengurangi tanggung jawabnya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Kekuasaan korporasi yang tidak terbatas membuat semua bidang kehidupan digerus oleh kepentingan mencari untung. Di titik inilah modal menjadi tirani.

Perekonomian yang sangat bergantung pada pembiayaan luar negeri ini menghasilkan warisan utang yang luar biasa. Hingga Januari 2008 outstanding Surat Utang Negara hampir menyentuh angka Rp 900 trilyun sementara utang luar negeri tercatat US$ 79 milyar. Pembangunan diarahkan untuk menutup defisit anggaran yang sudah nyata tidak berhasil mengatasi krisis tapi justru membuat krisis semakin mendalam. Subsidi dan pengeluaran sosial dibuntungi agar pemerintah punya cukup uang untuk membayar utang. Korupsi yang sudah sampai taraf memuakkan membuat sedikit dana yang tersisa tidak pernah bisa digunakan secara efektif untuk melakukan perbaikan. Stolen asset yang mencapai ratusan trilyun tidak pernah bisa disentuh, sementara kasus pencurian baru pun seperti sukar dielakkan. Desentralisasi kekuasaan membuat munculnya predator baru di tingkat lokal yang justru membuat perubahan semakin sulit dilakukan.

Para pemegang kuasa sepertinya tidak menyadari bahwa krisis yang menyeluruh ini tidak hanya mengancam perekonomian Indonesia tapi juga keberadaan Indonesia sebagai sebuah political project. Tirani modal membuat ruang hidup semakin sesak. Ruang publik pun semakin berkurang sehingga kreativitas dan daya kritis tidak dapat berkembang. Lembaga negara dikuasai oleh penganjur neoliberalisme yang justru mendekatkan pasar dengan negara. DPR setiap minggu menghasilkan satu undang-undang baru yang memudahkan jalan modal untuk menguasai negeri ini. Birokrasi diatur sedemikian rupa di bawah panji-panji reformasi dan good governance sehingga tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan modal. Ketika Bank Dunia memberi jutaan dolar kepada DPR untuk menyusun undang-undang sumber daya air, kita tahu bahwa undang-undang itu tidak akan mewakili kepentingan rakyat banyak. Dan yang lebih menyedihkan: uang jutaan dolar itu adalah pinjaman yang harus dibayar kembali oleh rakyat melalui pajak dan pungutan lainnya. Artinya rakyat harus membayar mahal untuk kebijakan yang merugikan dirinya.

Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum atau electoral democracy hanya memberi kesempatan pada kekuatan neoliberal dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara di pusat maupun daerah. Hasil dari pertarungan ini adalah kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang ekonomi dan konservatif di bidang politik. Kemunculan pejabat dan anggota DPR di pusat dan daerah dari kalangan akademik maupun gerakan sosial belum mampu mengimbangi kecenderungan ini, apalagi membawa perubahan yang berarti.

Konperensi ini tentu tidak hanya membicarakan masalah, tapi juga berbagai ide dan praktek alternatif yang bermunculan di seluruh negeri. Dan di tengah pemiskinan yang makin menjadi, ancaman sektarianisme dan perpecahan yang bisa berakibat runtuhnya social fabric, dan dominasi modal di segala bidang, kita berkeyakinan bahwa alternatif itu ada.

Indonesia adalah masyarakat majemuk. Karena itu kiranya tidak ada rumus atau resep tunggal yang secara menyeluruh dapat mengatasi tumpukan masalah yang demikian bervariasi, baik dari segi geografis maupun sektoral. Konperensi ini berhasil mengidentifikasi sejumlah prinsip dan ruang di mana alternatif yang majemuk ini dapat berkembang. Prinsip dasar yang penting adalah mengakhiri atau memutus ketergantungan terhadap modal dan pasar. Kepercayaan buta pada mekanisme pasar dan neoliberalisme yang merajalela dalam tata dan kelola perekonomian Indonesia harus ditinggalkan, dan diganti dengan pemikiran dan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan mengutamakan kesejahteraan. Ada tiga kata kunci di sini: keadilan, keberlanjutan dan kemakmuran, yang berporos pada kedaulatan, artinya kuasa dan kendali yang efektif untuk menentukan nasib sendiri.

Negara juga harus mengambil keputusan politik untuk mengakhiri ketergantungan pada pembiayaan luar negeri, mengupayakan pengurangan utang luar negeri, dan memegang kendali penuh dalam kebijakan fiskal dan moneter. Dominasi lembaga keuangan internasional dan perusahaan multinasional dalam menentukan kebijakan ekonomi Indonesia harus diakhiri. Penjualan aset negara untuk menutupi defisit anggaran harus dihentikan segera dan rencana pengembalian aset yang sudah dijual harus segera disusun. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di sektor energi mutlak diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dan gas, yang menjadi blok pengeluaran sangat besar dalam anggaran belanja negara.

Negara harus mengupayakan kedaulatan pangan dengan meningkatkan produksi pertanian untuk keperluan konsumsi di dalam negeri. Impor bahan makanan pokok, terutama beras, kedelai, jagung dan gula harus dikurangi. Distribusi kebutuhan pokok harus ditangani badan khusus yang melibatkan masyarakat luas dan tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Upah di segala sektor harus dinaikkan untuk meningkatkan daya beli, dan sistem pajak yang adil diberlakukan secara efektif untuk mengurangi kesenjangan yang makin menjadi. Tidak ada alasan bagi negara untuk membiarkan sebagian penduduk menikmati kemewahan yang sukar dibayangkan di negara maju sekalipun sementara mayoritas penduduk hidup dalam penderitaan. Kepastian kerja harus ditegakkan dengan menghapus informalisasi kerja yang hanya merupakan strategi pengusaha untuk mendapat keuntungan berlipat.

Prinsip dasar dari perubahan arah pembangunan ini adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Karena itu keterlibatan rakyat secara langsung dalam pembuatan dan pelaksanaan perekonomian menjadi mutlak diperlukan. Prinsip ini pada gilirannya menuntut perubahan dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi perlu diperdalam dengan bermacam bentuk demokrasi langsung yang lebih partisipatoris dan menjamin keterwakilan semua unsur masyarakat, yang tidak terlihat (invisible) dalam demokrasi elektoral. Kontrol terhadap pelaksanaan demokrasi elektoral harus ditegakkan, mulai dari sistem pemilihan umum, pembiayaan partai politik sampai demokrasi internal partai politik itu sendiri. Dengan langkah-langkah ini kita bisa berharap terjadinya peningkatan kualitas demokrasi yang menjamin keterwakilan, lebih menampung yang pada gilirannya menghasilkan kebijakan yang berkualitas. Lembaga-lembaga negara harus dibebaskan dari kepentingan predatoris dan neoliberal dengan menempatkan penyelenggara negara yang bisa berpikir di luar paradigma dominan dan bersedia menantang tirani modal.

Perubahan ini tidak mungkin berjalan jika hanya berlangsung di tingkat kebijakan. Pemberhalaan hukum – seolah kebijakan yang baik akan menghasilkan praktek yang baik pula – juga harus ditinggalkan. Perubahan kebijakan harus disertai dukungan masif dari berbagai unsur masyarakat untuk memastikan bahwa perubahan yang diharapkan muncul sebagai akibat dari keluarnya kebijakan tertentu, memang terjadi. Dan lebih jauh, politik pengetahuan dan perumusan kebijakan semestinya bertolak dari praktek-praktek alternatif terhadap tirani modal yang berlangsung di berbagai tingkat dan sektor. Aliansi antara kekuatan-kekuatan yang mengupayakan alternatif yang bersifat lintas-sektor perlu dibangun dan diperkuat. Kenyataan bahwa Universitas Indonesia menjadi tuan rumah bagi konperensi ini yang diselenggarakan bersama kalangan ornop, gerakan sosial dan intelektual, menjadi bukti bahwa aliansi seperti itu bukan hanya mungkin, tapi sudah terjadi.

Kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan di berbagai tingkat dan kalangan harus dipikirkan secara sungguh-sungguh, dan konperensi ini baru membuka jalan dengan mempertemukan berbagai kalangan dalam satu forum yang menghasilkan kesepakatan bersama. Kunci keberhasilan dari strategi untuk membangun alternatif ini adalah kehadiran critical mass, yang merumuskan, melaksanakan dan mengawal agenda perubahan ini. Tingkat partisipasi yang sangat tinggi dalam konperensi ini kiranya menjadi tanda yang baik bahwa kita sedang bergerak ke arah itu.